Blog Akademik Petrus Andung

Berbagi itu Indah

Hubungan Komunikasi dengan Kekuasaan

Oleh: Petrus A. Andung

Berikut ini kita akan membicarakan bagaimana hubungan antara komunikasi dengan kekuasaan. Menurut Wikepedia, The Free Encyclopedia, yang dimaksudkan dengan kekuasaan adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengontrol dan mempengaruhi lingkungannya atau orang lain sesuai dengan apa yang diinginkan.

Seorang psikolog sosial, John R. P. French dan Bertram Raven, dalam studi klasiknya Tahun 1959 (http://en.wikipedia.org/wiki/French_%26_Raven%27s_Five_bases_of_ Power), mengembangkan skema sumber kekuasaan yang digunakan untuk menganalisis bagaimana kekuasaan itu memainkan peran dalam suatu hubungan tertentu. French dan Raven lalu memperkenalkan 5 model kekuasaan yakni coercive power (kekuasaan yang bersifat memaksa), reward power (kekuasaan imbalan), legitimate power (kekuasaan legitimasi), referent power (kekuasaan panutan), dan expert power (kekuasaan karena keahlian). Mari kita membahasnya satu per satu.

1). Kekuasaan Paksaan (coercive power). Jenis kekuasaan ini mengandung unsur pemaksaan. Pada konteks ini, seseorang melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak ingin dilakukan. Tujuan utama dari kekuasaan tipe ini adalah untuk mendatangkan kepatuhan. Kekuasaan paksaan berkaitan dengan perilaku hukuman yang mungkin di luar ekspektasi peran normal seseorang. Sumber kekuasaan ini sering dapat menyebabkan masalah dan dalam keadaan tertentu dapat cenderung menimbulkan penyalahgunaan. Hal mana kekuasaan dari pemaksa bisa menyebabkan perilaku tidak sehat dan ketidakpuasan di tempat kerja. Pada kekuasaan paksaan, sang pemimpin cenderung menggunakan ancaman dalam gaya kepemimpinan mereka. Bawahan patuh dan taat kadang-kadang karena takut dipecat atau diturunkan pangkatnya.

2). Kekuasaan balas jasa/imbalan (reward power). Kekuasaan imbalan ini muncul karena kenyataan menunjukkan bahwa umumnya orang baru mau melakukan sesuatu bila mereka tahu akan menerima imbalan dari apa yang dilakukannya itu. Jadi, seseorang akan tanggap dan patuh pada perintah bila ia memAndang bahwa imbalan yang ditawarkan seseorang atau organisasi mungkin sekali akan diterimanya. Bentuk-bentuk imbalan yang paling populer adalah menawarkan kenaikan gaji, promosi, dan atau sekadar pujian. Namun masalahnya, bila orang tersebut memAndang imbalan yang ia terima memiliki nilai yang kurang sesuai dengan apa yang diharapkan maka akan melemahkan kekuasaan dari pihak yang berkuasa.

3). Kekuasaan legitimasi (legitimate power) Model kekuasaan legitimasi juga disebut dengan kekuasaan karena posisi. Kekuasaan legitimiasi muncul karena seseorang memegang posisi dalam sebuah organisasi sebagai sebuah kewenangan formal yang didelegasikan kepadanya. Hal ini biasanya disertai dengan berbagai atribut kekuasaan seperti seragam, kantor, dll. Pada konteks kekuasaan seperti ini, seseeorang yang posisinya lebih tinggi tentu memiliki kekuasaan atas pihak yang berkedudukan lebih rendah. Jika bawahan memAndang penggunaan kekuasaan tersebut sah, artinya sesuai dengan hak-hak yang melekat, mereka akan patuh. Tetapi jika dipAndang penggunaan kekuasaan tersebut tidak sah, mereka mungkin sekali akan membangkang. Batas-batas kekuasaan ini akan sangat tergantung pada budaya, kebiasaan dan sistem nilai yang berlaku dalam organisasi yang bersangkutan.

4). Kekuasaan panutan (referent power) Kekuasaan panutan merupakan kemampuan seseorang untuk mempengerahui orang lain dan membangun loyalitas berdasarkan karisma dan keterampilan interpersonal dari pemegang kekuasaan tersebut. Seseorang mungkin dikagumi karena sifat pribadi tertentu, terutama bakat kepemimpinan alamiahnya, dan kekaguman ini menciptakan kesempatan bagi pengaruh interpersonal. Dengan demikian, karisma orang tersebut merupakan dasar dari kekuasaan panutan.

5). Kekuasaan karena keahlian (expert power) Kekuasaan karena keahlian ini berkaitan erat dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh seseorang karena keterampilan atau keahlian khusus yang dimiliki dimana tidak semua orang memilikinya. Semakin sulit mencari pengganti orang yang bersangkutan, semakin besar kekuasaan yang ia miliki. Contoh: seorang dokter ahli kandungan dan kebidanan dapat menggunakan kekuasaannya untuk meyakinkan pasiennya untuk melakukan operasi bedah cesar karena pertimbangan keselamatan pasien. Sementara itu, menurut Mark Orbe dalam Martin dan Nakayama (2004:100), bahwa dalam setiap komunitas selalu muncul apa yang disebut dengan hierarki/tingkatan sosial. Kelompok sosial yang berada pada posisi lebih tinggi seringkali mendominasi atau memegang kendali/kontrol atas kelompok yang lebih rendah dan kecil. Orbe kemudian menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan dapat secara sadar ataupun tidak sadar menciptakan dan memelihara suatu sistem komunikasi yang sedemikian rupa sehingga dapat memperkuat dan mempromosikan cara pAndang dan perilaku komunikasi mereka.

Selanjutnya Martin dan Nakayama (2004:100), membagi dua dimensi dari kelompok berkaitan dengan kekuasaan:

1. Dimensi primer Yang termasuk dalam kategori dimensi primer antara lain usia, etnis, jenis kelamin, kemampuan/keberadaan fisik, ras, dan orientasi seksual dimana bersifat permanen dan alamiah.

2. Dimensi sekunder Termasuk dalam dimensi sekunder yakni latar belakang pendidikan, lokasi geografis, status perkawinan, dan status ekonomi. Semua hal ini bersifat tidak permanen sehingga bisa berubah dan dapat diubah.

Selanjutnya dijelaskan Martin dan Nakayama, kekuasaan bisa juga berasal dari institusi sosial dan peran atau posisi dari orang tersebut dalam suatu institusi. Pada konteks seperti ini, orang-orang yang memiliki atau mengendalikan kekuasaan lebih memiliki kuasa dalam mengendalikan komunikasi. Untuk jelasnya, perhatikan contoh berikut ini. Seorang dosen ketika memberikan kuliah akan memegang kendali komunikasi karena secara hierarki, ia lebih tinggi dan lebih berkuasa atas mahasiswa dan mata kuliah yang diasuhnya. Melalui kuasa yang ia miliki tersebut maka ia dapat menentukan siapa saja yang boleh berbicara, siapa yang mendapat nilai A, jenis tugas apa yang harus diselesaikan, dan sebagainya.

Karena itulah, Hall dan White (1993:53) menegaskan bahwa perbedaan status dan kelas sosial sangat berpengaruh terhadap kebebasan orang dalam menyampaikan ide dan pendapat. Orang-orang yang berstatus sosial lebih rendah ketika berhadapan dengan orang-orang dengan status dan kelas sosial yang lebih tinggi biasanya lebih cenderung mengalami kesulitan dalam menyampaikan pendapat secara bebas dan terus terang. Sebagaimana kita tahu, pada masa lalu orang berstatus lebih rendah harus menyatakan rasa hormat kepada atasannya dalam setiap kontak/tatap muka. Hal ini juga bahkan terjadi ketika tiap orang tahu bahwa si bawahan tidak menyukai atasannya.

Namun kekuasaan itu ditegaskan lagi oleh Martin dan Nakayama, bisa juga bersifat dinamis. Contohnya, mahasiswa dapat saja meninggalkan kelas sewaktu-waktu selama kuliah berlangsung. Bahkan sementara profesor memberi kuliah, mungkin saja ada mahasiswa yang sedang keasyikan ngobrol. Walaupun pada konteks seperti ini kita bisa berkata bahwa ini adalah kelemahan profesor yang bersangkutan dalam menggunakan kuasanya untuk mengatasi kelas selama perkuliahan. Selain itu, kekuasaan juga sedikit kompleks. Demikian dinyatakan Martin dan Nakayama selanjutnya.

Kompleksitas dari kekuasaan itu khususnya dalam kaitannya dengan institusi atau struktur sosial. Ketidaksetaraan dalam hal kelas sosial, jenis kelamin, dan bahkan ras biasanya lebih sulit untuk diubah bila dibandingkan dengan kekuasaan yang terjadi karena peran-peran tertentu misalnya sebagai dosen, guru, dll. Dalam kegiatan komunikasi, kekuasaan juga mempunyai andil dalam menciptakan efektifitas komunikasi. Pembicaraan/perkataan orang yang mempunyai kuasa, seringkali lebih didengarkan oleh orang lain. Orang-orang seringkali menaruh perhatian yang besar terhadap apa yang diucapkan orang yang mempunyai kekuasaan. Contohnya: perkataan/nasehat orangtua seringkali lebih didengarkan oleh anak, daripada nasehat dari temannya. Atau contoh lain, kita seringkali meluangkan waktu untuk duduk dan mendengarkan pidato presiden, sehingga apa yang dikatakan presiden itu menjadi rujukan bagi perilaku kita. Seperti halnya komunikasi dengan budaya, maka komunikasi dan kekuasaan pun saling berhubungan. Kekuasaan bisa jadi dapat diperoleh karena kemampuan komunikasi yang baik (khususnya expert power, dan referent power). Begitupun kekuasaan menentukan perilaku komunikasi seseorang. Coba kita amati perilaku komunikasi seseorang yang mempunyai kekuasaan (misalkan pejabat pemerintahan) dengan orang yang tidak mempunyai kekuasaan (misalnya buruh pabrik), tentunya perilaku komunikasi mereka sangat berbeda, dimana seorang pejabat/atasan biasanya berbicara dengan lebih teratur dan sistematis daripada seorang buruh (http:// http://www.scribd.com/doc/32706338/Ujian-Akhir-Semester-KLB).

Sumber: Hall, Edward T. dan William F. White., 1993., Komunikasi Antarbudaya: Suatu Tinjauan Antropologis dalam Komunikasi Antar Budaya. Penyunting: Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat., PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.

Martin, Judith N. and Thomas K. Nakayama., 2003. Intercultural Communication in Contexts., United States: The McGraw-Hill Companies.

http://en.wikipedia.org/wiki/French_ %26_Raven%27s_Five_bases_of_Power

http:// http://www.scribd.com/doc/32706338/Ujian-Akhir-Semester-KLB

Desember 22, 2010 - Posted by | Komunikasi Antar Budaya

1 Komentar »

  1. thx pak atas info nya

    Komentar oleh Administrator | Maret 17, 2011 | Balas


Tinggalkan Balasan ke Administrator Batalkan balasan